Kamis, 29 Januari 2009

Paradigma dalam Penelitian Kualitatif

Dari :
http://islamkuno.com/2007/12/17/paradigma-dalam-penelitian-kualitatif/

Paradigma (paradigm) dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan bahwa paradigma merupakan suatu citra yang fundamental dari suatu pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang sharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Dengan demikian paradigma adalah ibarat sebuah cendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak untuk menjelajahi dunia dengan wawasannya (world-view).

Namun secara umum, paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini sejalan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Kuhn sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik kegiatan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah (Guba,1990). Selanjutnya paradigma diartikan sebagai (a) A set of assumptions and (b) beliefs concerning: yaitu asumsi yang “dianggap” benar (secara given). Untuk apat sampai pada asumsi itu harus ada perlakuan empirik (melalui pengamatan) yang tidak terbantahkan; accepted assume to be true (Bhaskar, Roy. 1989; 88-90). Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai Amental window, tempat terdapat “frame” yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan. Dalam masyarakat banyak digunakan macam-macam paradigma, seperti adversarial paradigm dalam hukum, judgemental peradigm dalam olah raga, religious paradigm dalam kehidupan beragama dan lain sebagainya. Dalam pembahasan paradigma disini dibatasi hanya tentang paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline inquiry paradigm), yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu.[1]

Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Paradigma ilmu itu adalah: Positivisme, Postpositivisme (yang kemudian disebut sebagai Classikal Paradigm atau Conventionalism Paradigm), Critical theory (Realism) dan Constructivism (Guba, Egon, 1990: 18-27). Perbedaan keempat paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka dalam memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: Ontologis, Epistemologis dan metodologis. Namun demikian, beberapa paradigma mempunyai cara pandang yang sama terhadap salah satu dari ketiga aspek pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.[2]

Pembagian Paradigma Ilmu Sosial

Positivisme dan Postpositivisme

Konstruktivisme (interpretatif)

Critical Theory

Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam, yaitu suatu metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan “deductive logic” dengan pengamatan emperis, guna secara probabilistik menemukan atau memperoleh konfirmasi tentang hukum sebab-akibat yang bisa digunakan untuk memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu.

Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap “social meaningful action” melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial dalam setting kehidupan sehari-hari yang wajar atau alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka.

Mentakrifkan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap ‘ the real structure” di balik ilusi, false needs yang ditampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk kesadaran sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan mereka.

Contoh teori

Contoh teori

Contoh teori

- Liberal political-economy (mainstreams)

- Teori modernisasi, teori pembangunan di negara berkembang.

- Symbolic inteteractionism (lowa school)

- Agenda setting, teori-teori fungsi media.

- Cultural/ contructivism political-economy (Golding & Murdock)

- Phenomenology, Ethnomethodology.

- Constructionism (Social construction of reality-Peter Berger).

- Structuralism political-economy (Schudson).

- Instrumentalisme political-economy (Chomsky, Gramsci dan Adorno).

- Theory of communicative action (Habermas).

Diambil dari Dedy N.Hidayat (Paradigma dan Methodology/09/12/98), Dikutip penulis dari Agus Salim, hal. 42.

Perkembangan Awal Islam di Jawa Barat

Perkembangan Awal Islam di Jawa Barat
Dari : http://www.kasundaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=143&Itemid=28


KESULTANAN Demak dengan rajanya Raden Patah (1475-1518), disebut-sebut sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, kalau melihat sejarahnya dari berbagai sumber tertulis, pada sekitar tahun 1415 di Cirebon sudah berdiri lebih dulu kadipaten (kerajaan kecil) yang mengembangkan agama Islam di Jawa. Kadipaten itu dipimpin oleh Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, yang memerintah sekitar abad XV.
Bukan Kesultanan Demak, tetapi Katemenggungan Cirebon
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/12/daerah/buka26.htm
Kompas/jimmy s harianto

KESULTANAN Demak dengan rajanya Raden Patah (1475-1518), disebut-sebut sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, kalau melihat sejarahnya dari berbagai sumber tertulis, pada sekitar tahun 1415 di Cirebon sudah berdiri lebih dulu kadipaten (kerajaan kecil) yang mengembangkan agama Islam di Jawa. Kadipaten itu dipimpin oleh Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, yang memerintah sekitar abad XV.

Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana itu perintis pengembangan masuknya Islam di Jawa. Jauh sebelum Demak berdiri tahun 1475. Dari pakuwon (bangunan kerajaan kecil) Pakungwati yang kini menjadi tempat berdirinya Keraton Kasepuhan Cirebon, Cakrabuwana telah mengembangkan Islam," kata budayawan Cirebon TD Sudjana yang banyak menerjemahkan karya-karya kuno seperti sastra, hukum dalam pemerintahan Keraton Kasepuhan.

Mantan Residen Cirebon RH Unang Sunardjo SH (almarhum) yang tekun membaca babat maupun sumber-sumber tertulis sejarah-yang kemudian menyusun buku berjudul Selayang Pandang Masa Kejayaan Keraton Cirebon-menyebutkan, Katemenggungan/Kadipaten Cirebon ini merupakan satu dari kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan bagian negara federasi Kerajaan Pajajaran. Negara-negara kecil itu diperkenankan mengelola seluruh hasil bumi dan kegiatan perekonomiannya. Syaratnya, negara kecil ini harus menyerahkan hulu bekti (upeti) kepada Maharaja Pajajaran.

Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana yang bernama kecil Raden Walang Sungsang ini adalah anak hasil pernikahan Prabu Siliwangi dengan putri Cirebon Nyi Ratu Subang Larang anak dari Ki Ageng Tapa, Kepala Pelabuhan Muarajati, Cirebon. Cakrabuwana punya dua saudara, Raden Sangara dan Nyi Ratu Mas Rarasantang. Ketika ibunya meninggal, ketiga putra Prabu Siliwangi itu meninggalkan Istana Pajajaran dan memilih menetap di Cirebon, ikut kakeknya Ki Ageng Tapa.

Di rumah kakeknya itu, ketiganya memeluk Islam setelah masuk pesantren yang dipimpin Syeh Datuk Kafi. Setelah tamat, Cakrabuwana bekerja sebagai kepala desa (kuwu) Cirebon. Berangkat dari seorang kuwu inilah Raden Walang Sungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memperluas wilayahnya sampai daerah Tegal Alang-alang, melebihi ukuran sebuah desa. Makin banyak pula masyarakat pemeluk Islam-semula beragama Hindu karena pengaruh Pajajaran-di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya.
***

APA yang dilakukan oleh Raden Walang Sungsang diketahui oleh ayahandanya Prabu Siliwangi, Maharaja Pajajaran. Namun, tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Siliwangi, karena kerja dalam pemerintahan Raden Walang Sungsang dinilai baik. Dalam memberikan upeti ke Pajajaran, juga tidak mengecewakan. Sayang, tidak diketahui pasti kapan penobatannya menjadi bupati. Dalam Babad Cirebon ataupun buku karya RH Unang Sunardjo SH itu juga tidak disebut tahun berapa penobatan itu. Yang jelas pada tahun 1415 Cakrabuwana sudah giat.

Justru karena prestasinya itu, Walang Sungsang oleh Prabu Siliwangi diangkat menjadi tumenggung, jabatan setingkat bupati yang menguasai wilayah Cirebon. Sejak menjadi tumenggung itulah Walang Sungsang diberi gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana. Dia lantas membangun Pakuwon (keraton kecil) yang diberi nama Pakungwati (nama anak perempuannya).

Meski Katemenggungan Cirebon merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Cakrabuwana tetap terus mengembangkan agama Islam. Apa yang dilakukan Cakrabuwana tidak mendapat hambatan dari Pajajaran, karena dalam bekerja di pemerintahan dia tidak pernah mengecewakan Pajajaran.

"Jadi, Cakrabuwana waktu itu satu-satunya pejabat tinggi dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Islam. Ada memang yang beragama Islam yaitu Ki Ageng Tapa, tetapi dia bukan penguasa daerah, hanya Kepala Pelabuhan Muarajati," kata TD Sudjana. Dia menambahkan, keberanian Cakrabuwana masuk Islam itulah yang akhirnya membawa Cirebon bisa menjadi Kerajaan Islam yang akhirnya mampu mendesak bubarnya Pajajaran, meskipun harus dengan peperangan.

"PENDEKNYA, Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten dibantu Kerajaan Demak, yang membuat Agama Islam berkembang pesat di Jawa Barat," kata TD Sudjana. Raden Patah yang menjadi Sultan Demak itu pula yang akhirnya membantu Katemenggungan Cirebon menjadi keraton dengan peradaban Islam yang sangat berpengaruh di Jabar.

Ceritanya begini. Awalnya, setelah Tumenggung Cakrabuwana makin mampu meningkatkan kekuatannya dalam memimpin Katemenggungan Cirebon, dia ingin meningkatkan katemenggungan menjadi kerajaan Islam yang bebas berdaulat, mandiri tidak lagi di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena itu, dia mengirim keponakannya Syarif Hidayatullah untuk pergi ke Kesultanan Demak.

Syarif Hidayatullah yang kemudian disebut Sunan Gunungjati adalah anak dari Nyai Ratu Rarasantang adik Tumenggung Cakrabuwana yang ketika pergi ke Arab menikah dengan Syarif Abdullah, Sultan Mesir. Tampaknya Cakrabuwana sudah mengenal Raden Patah. Karena itu, Syarif Hidayatullah diharapkan bisa membantu Raden Patah memperluas kerajaannya sebagai kerajaan Islam, sekaligus menyerap pengetahuan bila kemungkinan Cirebon bisa menjadi kerajaan yang mandiri.

Saat itu, antara tahun 1475-1479, Demak sedang melakukan kerja besar meruntuhkan Majapahit, yang memang sudah surut kekuatannya setelah pecah dua menjadi Majapahit barat tetap bernama Majapahit dan timur bernama Kerajaan Blambangan.

Dengan kekuatan yang dibantu Syarif Hidayatullah, Raden Patah-putra Majapahit terakhir yang bernama Bre Kertabumi-mampu menghanguskan pusat Kerajaan Majapahit yang sekarang diduga sebagai situs Trowulan. "Konon, Kertabumi, ayah Raden Patah tetap dihormati, diboyong ke Demak dan tinggal di kesultanan sampai akhir hayatnya," kata TD Sudjana.

Syarif Hidayatullah yang memang dikenal sebagai ahli penyusun strategi itu, oleh Raden Patah diperintahkan segera pulang ke Cirebon dan mendirikan kerajaan. Benar, tahun 1479 atau empat tahun setelah berdirinya Majapahit (1475), berdirilah Kerajaan Cirebon. Tumenggung Cakrabuwana yang sudah lama merintis kerajaan Islam tidak ingin memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Cirebon.

Keraton Pakungwati diserahkan kepada Syarif Hidayatullah keponakannya itu, yang dinobatkan menjadi raja dan bergelar Susuhunan Jati Purba Wisesa yang terkenal pula dengan nama Syeh Maulana Jati (setelah meninggal disebut Sunan Gunungjati karena makamnya di daerah Gunungjati, Cirebon). Sunan Gunungjati kemudian menikahi Pakungwati, putri Tumenggung Cakrabuwana, dan menyatakan diri sebagai kerajaan Islam yang berdaulat, lepas dari Pajajaran.

Maulana Jati bukan saja mengembangkan Keraton Pakungwati yang sisanya masih tampak pada Keraton Kasepuhan sekarang, tetapi juga merencanakan pengembangan wilayah. Namun, tantangan dari Pajajaran juga cukup besar.

Sunan Gunungjati atau Maulana Jati memiliki strategi politik yang cukup cerdik. Yang dia lakukan terlebih dahulu adalah menyerang Banten, wilayah Pajajaran paling barat. Ketika Banten dikuasai, Sunan Gunungjati mengangkat putranya, Hasanuddin, menjadi adipati pertama di Banten. Adipati ini pula yang kemudian menjadikan Banten sebagai kesultanan, tahun 1532.

Kekuasaan Pajajaran makin tergerogoti oleh Cirebon. Bahkan, atas bantuan tentara Kesultanan Demak, sultan kedua di Banten bernama Sultan Maulana Yusuf yang menggantikan Sultan Hassunuddin, tahun 1568, menyerbu Pajajaran yang waktu itu diperintah oleh Maharaja Sri Bima Utarayana Mandura, pengganti Prabu Siliwangi. Cirebon bersama Banten akhirnya menguasai seluruh Jawa Barat. Tamatlah riwayat Kerajaan Pajajaran, kerajaan besar yang menganut faham Hindu Mahayana, dan berkibarlah Cirebon-bersama Banten-sebagai kerajaan Islam di Jawa Barat.
***

SURUTNYA Cirebon setelah penguasa Mataram (Mataram perkembangan dari Kesultanan Demak) ingkar janji, bahwa kerajaan besar dengan rajanya Sultan Agung Anyokrokusumo itu sekali-kali tidak akan menguasai Kesultanan Banten dan Keraton Cirebon, sebagai wujud penghormatan terhadap kerukunan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Namun, kegagalan Sultan Agung mengusir VOC dari Batavia, tahun 1628 dan 1629, mendorong Sultan Agung terusik hatinya untuk menguasai Jawa Barat.

Hanya dengan menguasai Jabar itu, dalam pandangan Sultan Agung, VOC bisa terkalahkan. Benar juga, tahun 1640 rencana Sultan Agung terwujud. Selain Banten dan Cirebon, semua kabupaten di Jabar dapat dikuasai oleh Sultan Agung.

Atas perlakukan Raja Mataram itu, Sultan Banten Sultan Ageng Tirtayasa-sebagai saudara serumpun-tidak tinggal diam. Atas bantuan Trunojoyo dari Madura, Banten menyerang Cirebon, tahun 1667. Martadipa yang memang sudah uzur menyerah dan pulang ke Mataram. Putra bungsu Pengeran Adipati Cirebon I yang bernama Wangsakerta, yang sedianya akan menyusul ayahnya menjadi tahanan politik di Kerajaan Mataram, digagalkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Dia dibawa ke Banten dan dilantik menjadi sultan.

Penyerangan ke Mataram hanya dilakukan oleh Trunojoyo sendiri yang memang dikenal pemberani. Sultan Banten hanya membantu persenjataan dan 22 perahu. Mataram cukup pontang-panting menghadapi pemberontakan Trunojoyo ini. Trunojoyo yang ibunya sempat menjadi selir Sultan Agung ini, sangat benci kepada Amangkurat yang sangat kejam dan akrab dengan Belanda.

Putra kedua Pangeran Dipati Cirebon, Kertawijaya, yang mendampingi ayahnya saat meninggal cepat-cepat dipulangkan ke Cirebon. Oleh Sultan Banten, Kertawijaya dilantik menjadi Sultan Cirebon menggantikan adiknya Wangsakerta yang sebelumnya dilantik sebagai pejabat sementara.

Namun, beberapa saat setelah Kertawijaya dilantik, pasukan Trunojoyo mengantarkan putra sulung, Martawijaya, yang paling berhak menduduki Keraton Cirebon. Karena ketiganya sudah dilantik menjadi Sultan Cirebon, maka Sultan Banten Ageng Tirtayasa menetapkan ketiganya sebagai raja.

Sebagai anak sulung, Martawijaya diberi gelar Sultan Sepuh I. Adiknya, Kertawijaya, diberi gelar dan berganti nama Pangeran Mohammad Badrudin bergelar Sultan Anom Pertama, dan si bungsu Wangsawijaya yang menjadi pejabat sementara kepala pemerintahan, diberi gelar Panembahan Gusti atau Panembahan Tohpati.

Dari kasus itulah, terhitung sejak pertengahan abad XVII di Cirebon ada tiga kerajaan, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Tiga bangunan itu sampai sekarang masih ada, walaupun kondisinya kian memprihatinkan. Keturunan ketiga kerajaan yang secara intern berkuasa di bangunan tua itu, tidak memiliki dana cukup untuk mewujudkan kebesaran keraton sebagai peninggalan budaya, perintis kerajaan Islam di Jawa. (top)

Fakta Islam Indonesia


Contributed by Admin Al Amin Korea
Friday, 05 December 2008
Last Updated Sunday, 21 December 2008


ISLAM DI INDONESIA, SEJARAH ISLAM INDONESIA


Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada
beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan
itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?







Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual
Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara.
Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak
benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.





Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan
tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13.
Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara
dengan daratan India.





Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama
Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck
dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.


Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini
berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia.
Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu
Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk
memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini
datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.





Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah
Samudera Pasai.





Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini
disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya
pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke
Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke
Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali
sebagai amirul mukminin.



Alamin Korea
http://alaminkorea.com Powered by Joomla! Generated: 29 January, 2009, 23:50


Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan
Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim
dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.





Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari
orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian,
dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk
Amirul Mukminin.





Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan
sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin
Affan.





Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur
Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu
pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini
adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.





Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik
orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan,
pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi
sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.





Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti
Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina.
Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.





Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga
mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima
karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina
tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.





Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi
pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah
Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa
khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam
bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses
korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil
tersebut.





Alamin Korea
http://alaminkorea.com Powered by Joomla! Generated: 29 January, 2009, 23:50
“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di
dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon
gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil;
kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda
hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin
Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya
tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah
Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100
hijriah atau 718 masehi.





Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan
pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan
peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada
kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah
Nusantara.





Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran
Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang
membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus
perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.





Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di
Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang
mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang
berakar sejak mula masuk ke Nusantara.





Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi
kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya
pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy,
kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.





Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan
yang signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh dan kilafah Islam di Arab kian
erat.





Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan
mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia
sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapalkapal
dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974
hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan
Jeddah.





Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi
Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak
Alamin Korea
http://alaminkorea.com Powered by Joomla! Generated: 29 January, 2009, 23:50
saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini.
Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang
dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar
pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari
cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang
akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.





Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka
dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab)
untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan
perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan
menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka,
bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.





Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri,
Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya
dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan
oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.





Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh
disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang
berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun,
keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.





Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah
membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama
dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke
Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.





Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking
besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa
untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu
bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.





Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram
dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Amangkurat-I, Giri pun mengambil sikap
dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.





Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan
dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah
satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan
penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.



Alamin Korea
http://alaminkorea.com Powered by Joomla! Generated: 29 January, 2009, 23:50


Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi
sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya
tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan
Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.





Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar,
pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orangorang
dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam.





Sumber: http://faktaandalusia.wordpress.com

SM: Enaknya Penelikungan Islam-Jawa

Minggu, 8/09/2002
dari : http://www.indoforums.info/forums/viewtopic.php?f=1&t=1137


Enaknya Penelikungan Islam-Jawa
PERTEMUAN Islam dan Jawa secara stereotipe digambarkan berjalan amat damai dan mulus. Islam yang universal dan Jawa yang akomodatif dianggap sebagai pilar penyangga utamanya. Namun di sisi lain, Islam Jawa sering dituding sebagai penyimpangan dari Islam, bahkan sebagai Hindu atau Hindu-Budhha, sebagaimana anggapan kalangan muslim puritan dan banyak sejarawan-antropolog (kolonial). Benarkah relasi Islam-Jawa tampil dalam wajah dan wacana tunggal semacam itu?
Simaklah cerita setengah legendaris berkaitan dengan runtuhnya Majapahit, peralihan dari agama Hindu ke agama Islam, sebagaimana diungkap Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1985). Dilukiskan, Sultan Demak merebut Keraton Majapahit dengan kekerasan, lalu melaporkan peristiwa itu kepada rapat Wali Sanga yang konon kabarnya merintis dan mempropagandakan agama baru itu. Menurut laporannya, ia menyerahkan keraton itu kepada para pengikutnya untuk dirampok dan atas perintahnya semua buku buda dibakar. Yang dimaksud adalah buku dari periode Hindu-Jawayang dianggap keramat.
Dengan tindakan yang radikal itu,tradisi dan agama "Buddha" kehilangan kesaktiannya. Sunan Bonang dan para wali lainnya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, "Itu membuktikan kebijaksanaan mendalam dan akal sehat. Selama masih terdapat buku-buku yang menerangkan pandangan agama 'Buddha', orang-orang Jawa akan bertahan dalam paham kekafiran mereka, mungkin untuk seribu tahun lagi, dan mereka tak pernah diajak untuk ganti agama dengan mengikuti hukum Rasulullah, apalagi bertobat untuk menyerukan Nama Allah serta Muhammad Rasul-Nya."
Demikian kelamkah pertemuan Islam-Jawa pada masa awal perkembangannya? Zoetmulder buru-buru menyangsikan kebenaran cerita itu dan menyatakan kurang masuk akal bahwa rasa muak dan benci terhadap cara hidup dahulu beserta agamanya berakar dalam, pun di antara para penyebar agama Islam seperti digambarkan oleh cerita-cerita tersebut. "Andaikata pembakaran itu sungguh terjadi, itu pasti suatu kekecualian. Sentimen itu pasti tidak tersebar luas dan juga bukan gejala umum," tulis resi sastra Jawa kuno itu.
Mark R Woodward dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (1999) mengemukakan, tidaklah tunggal sumber Islam Jawa, sehingga tidaklah mungkin membicarakan suatu bentuk penafsiran Jawa yang tunggal. Penafsiran-penafsiran Jawa mengenai Islam, setidaknya sejak abad ke-16, berpusat pada persoalan yang berhubungan dengan teologi, ritual, dan hubungan politik antara bentuk-bentuk mistik dan kesalehan normatif.
Sejarah Islam Jawa, lanjut Woodward, tidak sekadar soal konversi, tapi juga soal penegaran Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang mengakibatkan penghancuran banyak kebudayaan Hindu-Buddha dan subordinasi ulama atas kekuasaan keraton.
Dia juga menyebutkan, proses formulasi kerajaan Islam menguasai kehidupan keagamaan di Jawa Tengah sangat kompleks. Setelah runtuhnya Majapahit, komunitas-komunitas kerahiban Hindu-Buddha dan tradisi-tradisi tekstual yang berhubungan dengan mereka [b]dihancurkan atau melarikan diri ke Bali. "Kendati beberapa kerajaan Hindu kecil masih bertahan di Jawa Timur hingga abad ke-18 (Pigeaud, 1967-1970:137), keraton dan bentuk literer kebudayaan Jawa lama telah dilenyapkan di Jawa Tengah sebelum berdirinya Mataram."
Senada dengan itu, dalam The Concept of Power in Javanese Culture (1986), G Moedjanto menyatakan Sultan Agung telah melakukan banyak hal untuk mengarahkan turun-naiknya Islam kerajaan yang berorientasi mis tik. Sejarawan dari Unnes Prof Abu Suud menyebut penggunaan gelar Sultan Ngabdurahman, Sayidin Panatagama sebagai bukti gejala akulturasi Islam-Jawa, sedangkan Moedjanto melihatnya sebagai upaya memantapkan mandat keagamaannya.
Penguasaan itu tampaknya baru disempurnakan pada masa pemerintahan Mangkurat I, yang menurut sumber-sumber Belanda kontemporer, memerintahkan eksekusi sekitar lima ribu hingga enam ribu ulama (Vlekee dalam Woordward, 1999:88)
Masih dari khazanah sastra, memang tak bisa dimungkiri adanya sentimen negatif Jawa (?) terhadap Islam pada Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco. Berbagai terminologi khas Islam telah dimaknai secara membabi buta, bahkan amat melecehkan, pada kedua kitab tersebut. Istilah semacam Mekah, sarengat, dan dzalikal kitabu dipelesetkan sedemikian rupa ke dalam ungkapan yang amat seronok. Celakanya, Prof Dr HM Rasyidi mengintroduksi kedua kitab itu sebagai representasi kebatinan (Jawa) dalam bukunya, Islam dan Kebatinan (1967). Walhasil, pencitraan secara peyoratif atas relasi Jawa-Islam pun berlangsung .
Tak terbantahkan memang, kitab sastra yang amat berwibawa dari masa Surakarta, Wedhatama karya Mangkunegara IV, pun turut menegarkan tipikal model resepsi Jawa terhadap Islam. Nasihat agar mencontoh laku Panembahan Senapati ketimbang Kangjeng Nabi, bisa dianggap sebagai unggapan keengganan menerima Islam pada level kesalehan normatif.
Adapun pula karya yang bisa dianggap mampu menampilkan negosiasi antara Islam dan Jawa barangkali adalah Serat Cebolek dan Serat Centhini. Pada kedua karya sastra itu, antara kesalehan dan normatif dan kebatinan telah didialogkan secara simbolis.
Demikian jamakkah saling telikung antara Jawa dan Islam? "Kerinduan kepada status yang hierarkis yang disahkan oleh kebudayaan Jawa, telah menelikung peradaban Islam meski telikungan itu dinikmati oleh orang-orang Islam yang di-status-quo-kan," kata antropolog dari Undip Dr Mudjahirin Thohir.
Betapapun terdapat beberapa lubang yang tampak amat kelam pada relasi Islam dan Jawa, dalam perkembangannya Islam Jawa telah menjelma sebagai varian Islam. "Islam Jawa bukanlah penyimpangan dari Islam, melainkan merupakan varian Islam, sebagimana Islam India, Islam Syiria, dan Islam Maroko," tulis Woodward.
Karena itu, tak perlu heran jika pada pertunjukan ketoprak di daerah Pati dan sekitarnya, tokoh Sunan Kalijaga -sosok yang selalu hadir dengan pakaian serba hitam, bukan surban putih- amat diidolakan. "Dia sosok yang amat njawani. Biarpun Islam, Jawanya tidak pernah ditinggalkan. Tidak lantas kearab-araban. Dia sososk nasionalis yang tidak mengkasifikasikan umat dan wawasan kebudayaannya luas," kata Budiyono, sesepuh ketoprak Wahyu Budoyo dari Karang, Juwana, Pati yang amat kerap memerankan tokoh tersebut di atas panggung.
Tak berlebihan juga jika Clifford Geertz (1968) menyebut Sunan Kalijaga sebagai pahlawan kebudayaan Jawa yang meletakkan model varian islam Jawa yang sinkretik. Dia mengemukaan Sunan Kalijaga sebagai contoh ideal bagi Islam Jawa dan pengalaman konversinya sebagai dasar teorinya bahwa Mataram tak lebih dari "Majapahit yang diislamkan". Sayang, Woorward justru dengan gegabah memasukkan tokoh ini dalam deretan tokoh yang terjebak pada kesalehan normatif belaka.
Sunan Kalijaga boleh jadi amat diterima di lingkungan Islam Jawa, sebagai personifikasi negosiasi dan "saling mengisi". Dan, akan berkesan nyinyir komentar Mudjahirin Thohir terhadap pertemuan ini. "Agama Islam diterima umumnya orang Jawa yang tersosialisikan berdasarkan pada kebudayaan Jawa dengan catatan-catatan. Yaitu sepanjang menguntungkan atau bagaimana mencari enaknya," kata Mudjahirin. Tapi, boleh jadi itulah nimatnya penelikungan dalam pertemuan Islam dan Jawa.

Islam Masuk Indonesia Saat Rosululloh Masih Hidup

Dari : http://groups.google.co.id/group/gor-des/browse_thread/thread/d27ab1dcf29970c3

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di
abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini
disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah
yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar
kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di
beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang
orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk
menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang
demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat
giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang
Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi
Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para
pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini
sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara,
Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah
soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in
Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak
penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad
kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa
jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan
Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda
perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan
Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta
memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera
Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di
antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM),
berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan
berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering
dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun
221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan
dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan
antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki
wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di
selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967;
Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil”
yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang
terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya.
Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan
huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa
antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah
berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.
Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di
Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai
kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang
dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan
bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara
saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina
sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat
itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara- China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang
seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun
setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di
sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan
Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha
Sriwijaya.

Di perkampungan- perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah
melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di
sana. Dari perkampungan- perkampungan ini mulai didirikan tempat-
tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal
bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah
(masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang
pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam
di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan
tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama
Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah
diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah
pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut
Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di
antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan.
Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika
Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh
Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari
seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-
sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang
Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad
ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer
dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi
pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau
sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal
sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad
ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus,
di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini
memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era
itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient
(EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa
pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India,
China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan
sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang
usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan
di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang
Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki
kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang
ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga
berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya
lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau
penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang
memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat
yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz, Bersambung)

Ekonomi dan Politik Sebagai Bandul Sejarah


Desember 10, 2008

Penulisan sejarah konvensional sangat identik dengan sejarah politik. Sesungguhnya, peristiwa sejarah tidak hanya berkaitan dengan kisah para raja, peperangan-peperangan atau jatuh bangun suatu pemerintahan (dinasti atau kerajaan) sebagaimana dalam sejarah konvensional. Sebaliknya sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu yang berhubungan dengan totalitas pengalaman manusia.

Sejarah dapat diartikan sebagai politik masa lalu, ekonomi masa lalu, masyarakat sosial masa lalu, atau sains masa lalu. Pendeknya, sejarah adalah segala sesuatu yang terjadi pada masa lalu.

Namun, mustahil untuk mengkaji sebuah sejarah dalam locus (ruang) dan tempus (waktu) yang begitu luas dengan menghadirkan seluruh aspek kehidupan manusia yang terjadi pada masa lalu. Penulisan sejarah hanya merekam sebagian kecil peristiwa yang dialami manusia. Karenanya, peristiwa sejarah terbagi menjadi dua : sejarah sebagai peristiwa itu sendiri (objektif) dan sejarah sebagai peristiwa yang dikisahkan oleh sejarawan (subjektif).

Bila kita telusuri tulisan-tulisan sejarah, maka kita akan menemukan tiga aspek yang menonjol dalam sejarah yaitu sosial, ekonomi dan politik. Aspek sosial dalam sejarah pasti ditemukan karena objek dan subjek sejarah adalah manusia, sejarah adalah berkenaan dengan hidup dan kehidupan manusia, perkembangan peradaban manusia. Hidup manusia tidak terlepas dari Struggle of life upaya mempertahankan hidup maka yang muncul dalam sejarah adalah aspek ekonomi, karena ekonomi memberikan peran penting bagi keberlangsungan hidup manusia.

Itu sebabnya kenapa pembahasan sejarah semisal tentang Indonesia tidak akan terlepas pada aspek ekonomi. Islam datang ke Indonesia dengan beragam teori apakah “Teori India”, Teori Persia”, Teori Arab” atau “Teori Cina” memiliki kesamaan latar yaitu mereka adalah para Saudagar Muslim. Pertumbuhan Islam berlangsung signifikan secara kuantitatif dan berhasil membangun masyarakat bermula berada di kota-kota pelabuhan sebagai lalu-lintas perdagangan.

Para Saudagar Muslim adalah Sender pembawa pesan wahyu, pesan Risalah, pesan Nabi, pesan para pemimpin Islam untuk mendakwahkan keyakinan yang dianutnya bahwa Islam Rahmatan Lil Alamin. Sebagai contoh dalam Sejarah Melayu tentang kisah masuk Islamnya Raja Malaka. Raja bermimpi bahwa Nabi menampakan diri kepadanya, mengajarinya cara mengucapkan dua kalimat Syahadat, memberinya nama baru Muhammad, dan memberitahukannya bahwa pada hari berikutnya akan tiba sebuah kapal dari negeri Arab yang mengangkut seorang Ulama yang harus dipatuhinya. Setelah terjaga, raja itu mendapatinya telah di khitan secara ghaib. Kemudian kapal pun tiba, dan dari kapal itu turun Sayid Abdul Azis untuk sholat di tepi pantai. Penduduk terheran-heran dan menanyakan arti dari gerakan ritual itu. Raja memberitahu bahwa kesemuanya itu sama seperti yang ada dalam mimpinya. Sesudah itu pejabat istana mengikutinya memeluk Islam. Selanjutnya Raja itu menyandang gelar Sultan Muhammad Syah dan memerintahkan seluruh rakyatnya memeluk Islam. Sayid Abdul-Azis sendiri kemudian menjadi guru raja. Dari kisah dalam Sejarah Melayu menunjukan perjalanan perdagangan oleh Saudagar Muslim dari Arab tidak hanya semata-mata yang berdatangan dalam satu kapal itu adalah pedagang saja tetapi juga para Ulama.

Kenyataan ini yang dibantah oleh para penulis Orientalis, padahal hal yang sama dilakukan oleh Imperialisme Eropa, kedatangan Portugis ataupun Belanda dengan VOC-nya selalu menyertakan para Misionaris Kritiani dengan misi Gospel-nya.

Aspek selanjutnya yang menjadi pokok penulisan sejarah adalah aspek politik. Sejarah tidak bisa dilepaskan dari masalah politik. “History is past politics”.

Ekonomi dan politik adalah bandul sejarah. Tidak ada ekonomi dan atau politik maka tidak ada yang direkam sebagai peristiwa sejarah. Berbicara ekonomi sebagai hajat hidup manusia tidak akan terekam sebagai sejarah manakala tidak melekat pada kepentingan politik. Lalu apa yang melekatkan ekonomi dan politik sehingga terjadi peritiwa-peristiwa besar yang pada akhirnya terekam menjadi sebuah sejarah?. Hanya ada satu yaitu Ideologi. Hanya saja Ideologi menjadi “tersembunyi” atau “disembunyikan” dalam rekaman peristiwa sejarah atau Historiografi penulisan sejarah.

UTUSAN ALLAH DI BUMI NUSANTARA

Islam sebagai dien pembebasan; yaitu pembebasan dari perbudakan manusia atas manusia untuk hanya menjadi budak Allah (Hamba Allah) saja, sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dan membebaskan bangsa arab yang sebelumnya dalam kekuasaan ideologi politik paganisme menjadi supremasi kekuasaan Islam dalam panji Negara Islam dengan pusat pemerintahan Madinatul Munawarah yang terletak di Yastrib.

Sepeninggal Rosul Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi, Kekuasaan Islam dilanjutkan oleh Khulafa’ur Rasyidin sebagai Khalifatur Rosul, pengganti Rosul Muhammad yaitu Abu Bakar R.A, Umar R.A, Usman R.A, dan Ali R.A. Para Khalifah Allah ini berhasil memperluas kekuasaan sosio politik Islam di luar Jazirah Arab dan membebaskan manusia dari pengaruh peradaban syirik ajaran filsafat Yunani, mistik Neoplatonisme, ajaran Hindu, Budha, Majusi dan Syirik Kristiani yang membentang diantara wilayah Mesir, Siria, Palestina, Persia, sampai benua Eropa dalam kekuasaan Romawi.

Perintah wahyu untuk mengajak manusia meninggalkan dzulumat kedzaliman, kesesatan kepada nur cahaya Allah, cahaya Rabbaniyah telah membenam disetiap insan kamil yang telah ridho dalam kepemimpinan kekuasaan setiap pelanjut Risalah, membawanya pada misi Tauhid, misi dakwah dengan menembus ruang sekat peta bumi. Melalui jalur sutra (jalur perdagangan) yang membentang antara Jazirah Arab sampai negeri Cina melewati daratan Persia, India sampai Cina, menembus lautan sampai di kepulauan Nusantara singgah di pelabuhan-pelabuhan besar di Sumatera dan Jawa, para pengemban Amanah Dakwah senantiasa menyerukan cahaya suci Ilahiyah, mengajak setiap manusia untuk melepaskan ajaran politheisme, animisme, dinamisme, ajaran budhis atupun hindi dan mamegang ajaran Ilahi Ad-Dienul Islam.

Sejak tahun 674 M yaitu sejak pasca masa Khulafa’ur Rasyidin (632 – 661 M), di pantai Barat Sumatera sudah ada komunitas muslim yang berasal dari Negara Islam Arab. Ini berarti dakwah Islamiyah ke wilayah nusantara sudah terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin . Dalam Ensiklopedi Asia I (Hal 1802) dan buku Sejarah Asia Tenggara Hal 276 Zainul Arifin dituliskan berdasar berita dari dinasti Ming II dan diniasti STIN (Chin) bahwa kerajaan Tarumanegra dan Kutai pada abad ke-7 telah mengalami kehancuran dengan kedatangan panglima perang Timur Jauh yang dipimpin oleh panglima perang yang masih muda dari Arab (Asia Barat Daya) yang diberi nama ekspedisi Islam Al Aliyin (Ekspedisi Islam ke-1).

Fase Islamisasi Bumi Nusantara




Desember 10, 2008

Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia yaitu sejarah tentang berdirinya kekuasaan sosio politik Islam di bumi Nusantara. Proses penting ini diselimuti ke tidak jelasan diantaranya terletak pada pertanyaan kapan Islam datang, dari mana Islam berasal, dan siapa yang menyebarkan Islam di Indonesia pertama kali dan sebagainya. Paling tidak ada empat teori tentang awal mula Islamisasi dan perkembangan Islam di Indonesia yaitu “Teori India”, “Teori Arab”, “Teori Persia” dan “Teori Cina” .

Dari ke empat teori awal mula Islam di Indonesia, diupayakan adanya sintesis dari perbedaan pendapat yang ada dengan membuat fase-fase atau tahapan Islamisasi di Indonesia, yaitu ;

1. Tahap permulaan kedatangan Islam terjadi pada abad ke- 7 M pada masa Khulafa’ur Rasyidin . Tahap ini berlangsung sampai abad ke-13 M dengan para pembawa Islam adalah orang-orang Muslim dari Arab, Persia dan India (Gujarat, Bengal) yang notabene pada pedagang atau saudagar. Inilah tahap dakwah Islamiyah yang melahirkan terbentuknya masyarakat Islam di Nusantara. Tetapi masyarakat Islam di Nusantara masih dalam kondisi minoritas dan berada dalam kekuasaan politik hindis-budhis.

2. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Kerajaan Islam pada abad ke-13 sebagai kerajaan Islam pertama (Negara Basis) di Indonesia diantaranya Samudra Pasai dan Malaka di daerah utama Sumatera. Fase terbentuknya kerajaan Islam berlangsung antara abad ke-13 sampai abad ke-16 M.

3. Akhir abad ke-16 dan abad ke-17 adalah Fase Kekuasaan Politik Islam Dominan di bumi Nusantara khususnya di Tanah Jawa. Fase ini ditandai dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Padjadjaran dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Peran Sentral Wali Sanga khususnya di Tanah Jawa dalam melakukan akselerasi dakwah dan membangun kekuatan politik yang handal menjadi “icon” perjuangan Islam di Indonesia.

Sunan Ampel Pengkader Para Pejuang


Desember 13, 2008

Dewan Wali Sanga berikutnya adalah Sunan Ampel. Lahir pada tahun 1401 M, nama kecilnya adalah Raden Rahmat, beliau adalah putera dari Syekh Maulana Malik Ibrahim bapak para wali tanah Jawa dari ibu seorang puteri Raja Campa (Kamboja). Raden Rahmat melanjutkan perjuangan bapaknya dalam menegakan Islam di Tanah Jawa.onta1

Raden Rahmat seusia muda sebelum 20 tahun tinggal dengan Ibunya di Campa (Kamboja). Kedatangan Raden Rahmat ke Jawa, sebelumnya singgah dulu di Palembang selama 2 bulan saat Raden Rahmat berusia 20 tahun dan berhasil mengislamkan Arya Damar Raja di Palembang. Kemudian melanjutkan pelayaran ke Majapahit dengan singgah di Gresik sekitar tahun 1421/1422 M (jadi setelah Bapaknya Maulana Malik Ibrahim wafat) mengunjungi Syekh Jumadil Kubra.

Raden Rahmat menetap di Ampel Denta (Surabaya), menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmat berhasil menjadikan daerah Ampel Denta yang semula berair dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Di sini beliau mendirikan pesantren, sehingga Ampel menjadi pusat dakwah Islam, sehingga Raden Rahmat digelari Sunan Ampel.

Intensitas perjuangan penegakan Islam di tanah Jawa lebih akseleratif dan terorganisir dimulai sejak kepemimpinan Sunan Ampel yaitu dengan merintis tanah Ampel Denta sebagai basis dakwah sekitar tahun 1422 M, sampai kejatuhan Kerajaan Majapahit tahun 1478 M atau sekitar 56 tahun.

Kita kadang membayangkan Sunan Ampel atau para Walisanga lainnya adalah orang yang sudah tua renta yang memiliki kesaktian yang madraguna, tetapi kalau kita telusuri secara waktu meskipun banyak perdebatan dan ketidakpastian penulisan sejarah berkenaan dengan waktu dan usia, tapi bisa dipastikan bahwa Sunan Ampel berkiprah bagi perjuangan penegakan Islam adalah seorang tokoh muda yang berprestasi. Hitungannya pendirian pesantren Ampel Denta yang didirikan setelah menikah dengan putri Tumenggung Wilwatikta pada usia sekitar 25 Tahun, ini berarti Sunan Ampel adalah da’i muda belia yang menjadi pelopor dakwah tanah Jawa.

Pesantren Ampel Denta oleh Sunan Ampel dan didaerah Giri oleh Sunan Giri adalah dua institusi pendidikan tempat pengkaderan pejuang-pejuang Islam paling penting di masa itu. Pesantren Ampel Denta Surabaya melahirkan kader Sunan Ampel diantaranya : Raden Patah (Raja Demak), Sunan Kalijaga (Menantu), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum (Sunan Bonang), Syarifudin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishaq (Blambangan), Dari Giri Akselerasi dakwah Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara diantaranya Sulawesi, Maluku, Ternate, Tidore.

Melalui pesantren yang terus di bina sungguh-sungguh, Sunan Ampel berhasil menelurkan orang-orang yang ahli agama dan menguasai ajaran Islam serta mempunyai dedikasi yang tinggi dalam mengamalkan dan memperjuangkan Islam.

Ada aspek strategis Ampel sebagai pusat dakwah Islam yang dikomandani oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel), sebab Ampel (Surabaya saat itu) merupakan pintu gerbang utama kerajaan Majapahit. Dengan adanya pusat dakwah di Ampel sebagai pintu gerbang Majapahit, maka pengaruh dakwah Islam yang sebelumnya berasal dari Gresik (yang dirintis oleh Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim bapak-nya Sunan Ampel) menjadi lebih gencar dan menusuk jantung Ibukota Majapahit.

Perkembangan Ampel Denta sebagai suatu komunitas di Surabaya yang dihuni oleh Umat Islam pada giliranya menjadi sentra pengkaderan Islam yang paling berpengaruh di Jawa pada pertengahan abad ke-15.

Sunan Ampel telah menjadikan pusat Majapahit sebagai sasaran dakwah utama (wilayah basis target dakwah). Langkah yang ditempuhnya adalah dengan membagi wilayah inti Majapahit sesuai hirarki pembagian wilayah negara bagian saat itu kedalam beberapa wilayah yang masing-masing wilayah di koordinir oleh para kader Ampel Denta dan sahabat Sunan Ampel, diantaranya ;

1. Raden Ali Murtadho saudara tua Sunan Ampel, diberi gelar Raden Santri ditetapkan menjalankan tugas untuk memperkuat basis pertahanan Islam di daerah Gresik.

2. Raden Burereh (Abu Hurairah) ditempatkan di Majagung dengan gelar Pangeran Majagung.

3. Maulana Ishak ditempatkan di Blambangan dengan gelar Syekh Maulana Ishak.

4. Maulana Abdullah dikirim ke daerah Pajang dengan gelar Syekh Suta Maharaja.

5. Usman Haji ditentukan memasuki kerajaraan Matahun dan bertempat di Ngudung dengan gelar Pangeran Ngudung.

6. Kafilah Husen ditempatkan di Madura dan bergelar Kafilah Husen.

7. Kiyai Bah Tong (Kakek Raden Fatah) ditempatkan di wilayah Lasem dengan gelar Syekh Bentong.

8. Raden Rahmat atau Sunan Ampel sendiri mengembangkan dakwahnya di wilayah penting ibukota kerajaan di Trowulan, serta pelabuhan-pelabuhan penting Majapahit yaitu Surabaya, Canggu dan Jedong.

Program selanjutnya adalah pengiriman kader-kader dakwah ke berbagai negara bawahan Majapahit untuk gelombang ke dua dengan wilayah target dakwah sudah lebih ke arah pedalaman Jawa. Kader-kader Ampel Denta Angkatan kedua yang mayoritas dari kalangan muda, kader dakwah tersebut diantaranya :

1. Raden Hamzah (Putra Sunan Ampel yang menurut cerita tradisi Syekh Kambilah) ditempatkan di Tumapel dengan gelar Pangeran Tumapel.

2. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) di tempatkan di Daha dengan gelar Pangeran Anyakrawati.

3. Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.

4. Syekh Maulana Ishak ditempatkan di Pasuruan dan mengawini Rarasatari, putri Bupati Pasuruan yang tak lama kemudian pindah ke Pandan Arang.

5. Raden Husin (Anak Arya Damar) ditempatkan di Ibukota Majapahit.

6. Usman Haji ditempatkan di Ngudung-Matahun dengan gelar Pangeran Ngudung.

7. Syekh Suta Maharaja tetap ditempatkan di Pajang.

8. Raden Hasan (Raden Fatah) ditempatkan di Glagah Wangi Bintara, yang termasuk wilayah Lasem, untuk menggantikan kakeknya Syekh Bentong dan mendapat gelar Pangeran Bintara. Raden Hasan juga melakukan koordinasi dan memperkuat dakwah Islam di kawasan Surabaya, Canggu dan Jedong.

Berbagai halangan, rintangan dan pengalaman pahit terjadi dalam upaya dakwah di negara-negara bagian Majapahit, tetapi Sunan Ampel mampu mengkoordinasikan dengan baik dalam wadah Dewan Walisanga (Dewan Dakwah Sembilan Penjuru[1]) dan melakukan pendekatan-pendekatan dakwah yang dinamis dan fleksible.

Sunan Ampel meninggal pada tahun 1478 M dengan memberikan karya besar yaitu :

1. Lahirnya basis-basis personal yang tauhidi dan bermental jihadi menjadi roh bagi perjuangan penegakan Islam menyongsong futuh Islam di Tanah Jawa.

2. Ampel Denta (Surabaya) menjadi pusat dakwah Islam di Tanah Jawa yang selanjutnya terjadi penyebaran hampir di seluruh wilayah negara bagian Majapahit.

3. Para Kader Dakwah Ampel Denta menjadi pelopor perjuangan futuh Islam di Tanah Jawa dengan menjadi koordinator-koordinator dakwah di sembilan wilayah inti kekuasaan Majapahit yaitu Trowulan (Ibu Kota Majapahit), Kahuripan, Daha, Wengker, Matahun, Pajang, Pamanahan, Wirabumi, dan Lasem. Lasem tepatnya wilayah Bintara yang dikoordinir oleh Raden Fatah alias Pangeran Bintara selanjutnya menjadi pusat penyerangan Negara Islam Demak terhadap Majapahit.

4. Sunan Ampel meninggal dunia 1478 M (tahun yang sama runtuhnya Majapahit) setelah menghantarkan berdirinya Negara Islam Demak dengan meruntuhkan kerajaan Majapahit.

Proklamasi Berdirinya Negara Islam Demak


Desember 17, 2008

Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, Raja Brawijaya ingat akan puteranya yang tinggal di Bintara. Sabdanya kepada Adipati Terung, “ bagaimana kakakmu sudah sekian lama tidak pernah menghadap.

revolution1

Janjinya setiap tahun akan menghadap, ini sudah tiga tahun tidak datang kesini. Apakah sudah mulia, lalu lupa pada saya. Kalau begitu, pergilah ke Bintara tanyakan pada kakakmu apa sebeb tidak menghadap sang raja?”.

Adipati terung segera ke Bintara diiringi sepuluh ribu pasukan. Sesudah ketemu dengan kakaknya serta menyampaikan panggilan sang Raja. Raden Fatah menjawab,” Terima kasih sungguh sangat besar anugerah kasih sayang sang Prabu. Adapun sebab tidak sowan, adalah begitu besar pantangan agama, yang tidak mengizinkan umat Islam untuk mengabdi kepada orang kafir. Serta sudah ditakdirkan bahwa di Bintara akan berdiri kerajaan yang menjadi awal orang Jawa beragama Islam”.

Pernyataan Raden Fatah menunjukan sikap aqidah Islamiyah yang telah tertanam dalam hati sanubarinya. Keyakinan akan wajibnya menegakan perjuangan Islam dengan Pola Furqon, yaitu sikap buro’ah berlepas diri, menjauhi sampai memerangi orang-orang kafir hatta mereka beriman dan berislam.

Adipati Terung tanggap dalam hatinya, takut kembali ke Majapahit jika tidak bersama dengan kakaknya. Ia lalu menyuruh Raden Fatah segera melaksanakan niatnya. Adipati Terung akan membantu dalam peperangan. Mereka kemudian berunding bersama, umat Islam di kumpulkan lengkap beserta senjata-senjatanya di Bintara. Bupati di Madura, Arya Teja di Cirebon, Bupati di Sura Pringga serta Sunan Giri juga sudah berkumpul di Bintara dengan bala-pasukannya. Apalagi para wali dan para mukmin sudah juga sudah berkumpul. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyak barisan tak terhitung, kota Majapahit dikepung. Orang-orang Majapahit banyak takluk kepada Adipati Bintara, tak ada yang berani menyambut perang. Adipati Bintara, Adipati Terung lalu masuk ke alun-alun. Adipati Bintara duduk di dampar yang ada di pagelaran di hadapan para prajurit.

Patih Gajah Mada memberitahu Sang Prabu, kedatangan musuh dari Bintara dan sekarang Adipati Bintara berada di pagelaran. Prabu Brawijaya setelah mendengar puteranya ada di sana lalu naik ke panggung untuk melihat putranya itu. Setelah tahu bahwa putranya betul-betul ada di pagelaran, beliau gaib bersama bala-pasukan yang setia dengan rajanya.

Adipati Bintara lalu masuk ke istana. Bukan main herannya ketika tidak dijumpai seorangpun di situ. Sang Adipati menangis dalam hatinya. Ia lalu keluar istana kembali ke Bintara dengan semua pengawal dan prajuritnya. Setibanya di Bintara, Sunan Ampel Denta berkata kepada Adipati Bintara supaya menjadi raja di Majapahit yang telah menjadi warisannya.

Seperti sudah dituliskan sebelumnya Sunan Giri menjadi peletak dasar-dasar negara Islam selama 40 hari, dalam istilah Babad Tanah Jawi,”ia memantrai agar hilang bekasnya raja kafir”.

Tahun 1478 M berdirilah Negara Islam yang beribukota di Demak dan menguasai seluruh tanah Jawa dengan Rajanya Raden Fatah yang bergelar Senapati Jin Bun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sajidin Panatagama. Ki Wana Pala diangkat patih bernama Patih Mangkurat. Sementara posisi para wali menempati Majelis Syuro dan Dewan Fatwa yang diketuai oleh Sunan Giri setelah wafatnya Sunan Ampel.

Senapati adalah gelar kesatria tertinggi panglima militer, ini bisa dipahami karena negara yang dibentuk pada situasi kondisi perang dimana pemimpin negara pada masa perang dipimpin oleh Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Jin Bun adalah nama kecil dari Raden Fatah yang merupakan keturunan putri raja dari Cina dan cucu dari Syekh Bah Tong (Syekh Bentong), Panembahan Palembang menunjukan masa kecil yang dididik oleh Arya Damar bapak tirinya Raden Fatah yang merupakan Raja di Palembang. Gelar utama pimpinan Negara Islam Demak ini adalah Ngabdur Rahman dan Sajidin Panatagama. Ngabdur Rahman menunjukan pada status di hadapan Allah bahwa beliau adalah Ibadur Rahman, dan Sajidin Panatagama menunjukan pada fungsi perannya sebagai pemelihara, pelaksana, penata Ad-Dien atau pembawa Ad-Dien artinya beliau adalah pelanjut fungsi peran Rosul sebagai pembawa Huda dan Dien.

Desember 18, 2008

Dari : http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/18/siapa-laksamana-cheng-ho/

———-
Dalam sejarah Indonesia, Laksamana Sam Po Kong dikenal dengan nama Zheng He, Cheng Ho, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan lain-lain. Laksamana Sam Po Kong berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Laksamana Cheng Ho adalah sosok bahariawan muslim Tionghoa yang tangguh dan berjasa besar terhadap pembauran, penyebaran, serta perkembangan Islam di Nusantara. Cheng Ho (1371 - 1435) adalah pria muslim keturunan Tionghoa, berasal dari propinsi Yunnan di Asia Barat Daya. Ia lahir dari keluarga muslim taat dan telah menjalankan ibadah haji yang dikenal dengan haji Ma.

Konon, pada usia sekitar 10 tahun Cheng Ho ditangkap oleh tentara Ming di Yunnan. Pangeran dari Yen, Chung Ti, tertarik melihat Cheng Ho kecil yang pintar, tampan, dan taat beribadah. Kemudian ia dijadikan anak asuh. Cheng Ho tumbuh menjadi pemuda pemberani dan brilian. Di kemudian hari ia memegang posisi penting sebagai Admiral Utama dalam angkatan perang.

Pada saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, Cheng Ho diangkat menjadi admiral utama armada laut untuk memimpin ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1406. Sebagai admiral, Cheng Ho telah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Asia Barat Daya dan Asia Tenggara. Selama 28 tahun (1405 - 1433 M) Cheng Ho telah melakukan pelayaran muhibah ke berbagai penjuru dunia dengan memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai dengan kurang lebih 27.800 awak kapal. Misi muhibah pelayaran yang dilaksanakan oleh Laksamana Cheng Ho bukan untuk melaksanakan ekspansi, melainkan melaksanakan misi perdagangan, diplomatik, perdamaian, dan persahabatan. Ini merupakan pelayaran yang menakjubkan, berbeda dengan pengembaraan yang dilakukan oleh pelaut Barat seperti Cristopherus Colombus, Vasco da Gamma, atau pun Magelhaes.

Sebagai bahariawan besar sepanjang sejarah pelayaran dunia, kurang lebih selama 28 tahun telah tercipta 24 peta navigasi yang berisi peta mengenai geografi lautan. Selain itu, Cheng Ho sebagai muslim Tiong Hoa, berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.

Pada perjalanan pelayaran muhibah ke-7, Cheng Ho telah berhasil menjalankan misi kaisar Ming Ta’i-Teu (berkuasa tahun 1368 - 1398), yaitu misi melaksanakan ibadah haji bagi keluarga istana Ming pada tahun 1432 - 1433. Misi ibadah haji ini sengaja dirahasiakan karena pada saat itu, bagi keluarga istana Ming menjalankan ibadah haji secara terbuka sama halnya dengan membuka selubung latar belakang kesukuan dan agama.

Untuk mengesankan bahwa pelayaran haji ini tidak ada hubungannya dengan keluarga istana, sengaja diutus Hung Pao sebagai pimpinan rombongan. Rombongan haji itu tidak diikuti oleh semua armada dalam rombongan ekspedisi ke-7. Rombongan haji ini berangkat dari Calleut (kuli, kota kuno) di India menuju Mekkah (Tien Fang).

Demikianlah misi perjuangan dan misi rahasia menunaikan ibadah haji yang dijalankan Cheng Ho, dan misi tersebut berhasil. Akan tetapi Cheng Ho merasa sedih karena tidak bisa bebas berlayar menuju tanah leluhurnya, Mekkah, untuk beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pada ekspedisi ke-5, armada Cheng Ho telah berhasil mencapai pantai timur Afrika dalam waktu tiga tahun. Dalam kesempatan tersebut, armada Cheng Ho berkunjung ke kerajaan di Semenanjung Arabiah dan menunaikan panggilan Allah ke Mekkah.

Sejarah tentang perjalanan muhibah Cheng Ho, hingga saat ini masih tetap diminati oleh berbagai kalangan, baik kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, maupun masyarakat keturunan Tionghoa. Chneg Ho telah menjadi duta pembauran negeri Tiongkok untuk Indonesia yang diutus oleh kaisar Dinasti Ming pada tahun Yong Le ke-3 (1405). Dalam tujuh kali perjalanan muhibahnya ke Indonesia, Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Sumatera dan Pulau Jawa sebanyak enam kali.

Kunjungan pertama adalah ke Jawa, Samudera Pasai, Lamrbi (Aceh Raya), dan Palembang. Sebagian besar daerah yang pernah dikunjungi Cheng Ho menjadi pusat dagang dan dakwah, diantaranya Palembang, Aceh, Batak, Pulau Gresik, Semarang (di sekitar Gedong Batu), Surabaya, Mojokerto, Sunda Kelapa, Ancol, dan lain-lain. Gerakan dakwah pada masa itu telah mendorong kemajuan usaha perdagangan dan perekonomian di Indonesia.

Dalam perjalanan muhibahnya, setiap kali singgah di suatu daerah ia banyak menciptakan pembauran melalui bidang perdagangan, pertanian, dan peternakan.

Misi muhibah yang dilakukan Cheng Ho memberikan mamfaat yang besar bagi negeri yang dikunjunginya.***