Kamis, 29 Januari 2009

Islam Masuk Indonesia Saat Rosululloh Masih Hidup

Dari : http://groups.google.co.id/group/gor-des/browse_thread/thread/d27ab1dcf29970c3

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di
abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini
disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah
yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar
kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di
beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang
orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk
menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang
demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat
giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang
Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi
Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para
pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini
sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara,
Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah
soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in
Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak
penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad
kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa
jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan
Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda
perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan
Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta
memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera
Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di
antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM),
berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan
berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering
dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun
221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan
dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan
antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki
wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di
selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967;
Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil”
yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang
terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya.
Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan
huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa
antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah
berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.
Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di
Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai
kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang
dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan
bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara
saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina
sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat
itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara- China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang
seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun
setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di
sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan
Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha
Sriwijaya.

Di perkampungan- perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah
melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di
sana. Dari perkampungan- perkampungan ini mulai didirikan tempat-
tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal
bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah
(masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang
pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam
di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan
tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama
Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah
diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah
pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut
Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di
antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan.
Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika
Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh
Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari
seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-
sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang
Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad
ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer
dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi
pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau
sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal
sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad
ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus,
di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini
memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era
itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient
(EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa
pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India,
China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan
sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang
usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan
di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang
Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki
kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang
ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga
berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya
lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau
penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang
memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat
yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz, Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar