Kamis, 29 Januari 2009

Perjuangan Islam dengan Dakwah

(Fakta Empirik Dakwah Para Wali)

Suatu gerakan politik merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik.

Satu daripada ciri-ciri Islam ialah bersifat “merubah.” La menolak cara menempel atau memperbaiki. Ia tidak rela dengan penyelesaian separuh-separuh atau sesuku-sesuku, atau ia tidak ingin mengharuskan hidup bersama jahiliah.
Dakwah berdaya politik bisa dipahami secara sederhana sebagai sebuah gerakan perubahan masyarakat dari keadaan syirik dan jahiliyah menjadi masyarakat Tauhid dan Islam.

Manhaj Rasulullah saw. dalam menghadapi jahiliah adalah bersifat ‘taghyir’ (merubah). Tatkala orang-orang Quraisy menemuinya untuk berkompromi supaya Rasulullah menyembah tuhan mereka selama sebulan dan sebagai balasan mereka akan menyembah tuhan Muhammad pula selama sebulan yang lain, Al-Quran secara tegas menurunkan ayat:

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Qs. Al-Kafirun; 109 : 1-6)

Perubahan dalam Islam sebetulnya simpel tak tidak berbelit-belit. Cara pandang perubahan Islam secara ringkas terungkap dalam kata-kata Rubi’e bin ‘Amir kepada Rustam, ketua angkatan bersenjata Parsi, ketika ditanya sebab berperangnya orang-orang Islam, maka dijawab:

“Allah mendatangkan kami bagi mengeluarkan hamba-hamba (manusia-manusia) dari menjadi hamba kepada hamba (manusia) supaya menjadi hamba kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dari kesempitan dunia kepada dunia yang lebih luas. Dari kezaliman beragama kepada keadilan Islam. Maka kami diutus dengan agama Allah kepada mahluk Nya untuk menyeru mereka kepada Allah. Maka barangsiapa yang menerima, kami menerima mereka dan tinggalah mereka di tanah air mereka dan siapapun yang enggan kami perangi sehinggalah kamu menerima seruan Allah yang dijanjikan (dengan ikrar).”

Perubahan Islam adalah pembebasan perbudakan manusia atas manusia menjadi hanya menjadi budak, hamba Allah. Pembebasan ini dalam al-Qur’an sebuah jalan yang mendaki lagi sukar.
“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,” (Qs. Al-Balad, 90 : 12-13)

Jalan yang mendaki, bila diibaratkan puncak gunung sebagai tujuan perjalanan maka kita harus melangkah tahap demi tahap meniti jalan yang terus meninggi. Pembebasan perbudakan manusia atas manusia dilakukan secara gradual/bertahap dari proses dakwah secara personal melahirkan personality yang tauhidi selanjutnya bertahap pada pembentukan keluarga yang tauhidi sebagai baiti jannati, selanjutnya bertahap pada pembentukan masyarakat islam dalam skup qoryah thoyyibah (pedukuhan, perkampungan, atau perkotaan yang tauhidi), selanjutnya baldah toyyibah warobbun ghofur dan puncak gunung itu adalah Khalifah fil Ardi. Jalan yang mendaki lagi sukar, menunjukan bahwa setiap tahap yang ditempuh tentu memiliki halangan, hambatan, dan rintangan yang bermacam-macam sesuai tingkatnya.

Ciri-ciri Perubahan Islam
Perubahan Islam mempunyai ciri-ciri aqidah dan akhlak yang berbeda dari aliran-aliran perubahan lain di dunia. Tidak pernah mereka yang telah menghirup dan mengecapi Islam, kemudian enggan dan menolaknya, kerana Islam mempunyai keunggulannya yang tersendiri dalam konsep pemikiran, ‘manhaj’ haraki dan ‘uslub’ perubahan. Antara ciri-cirinya:

A) Perubahan Menyeluruh
Perubahan Islam bukan setangkai perubahan suatu sudut dari sudut-sudut kehidupan manusia, baik di segi sosial, ekonomi, politik atau aqidah, tetapi dari segi tabiatnya. Islam itu adalah merupakan manhaj yang menyeluruh (kulli dan syamil). Ini menjadikan ‘perubahan Islam’ itu unik dari segi manhaj dan uslub (method dan cara).

Oleh kerana itu perubahan Islam tidak mungkin tercapai dengan cara rekaan semata-mata, apalagi secara ‘irtijali’ yakni tanpa program, dan tidak juga dengan cara ketenteraan untuk mendapatkan kuasa secepat kilat. Sebaliknya, perubahan Islam itu mestilah dengan mempersiapkan faktor-faktor dan sendi-sendi yang membolehkan terbangunnya masyarakat di atas asas-asas itu.

B) Perubahan aqidah (ideological)
Aqidah Islamiah menentukan tabiat dan manhaj perubahan. Maka garis yang Aqidah Islamiah menentukan tabiat dan manhaj perubahan. Maka garis yang membataskan polisi perubahan itu berkisar dan berpusat kepada dua tonggak asasi:-

1) Betul tujuan/matlamat yang ingin dicapainya; betul dalam method atau manhaj perubahannya. Inilah yang menjadikannya menolak nilai/kriteria perubahan secara parti, politik dan ketenteraan.

2) Betul wasilah dan terjamin tepatnya dari segi syara’ serta bersesuaian dengan ruh Islam, sebagaimana terpeliharanya juga perubahan Islam itu dari melanggar kaedah kaedah syara’.

Islam melihat perubahan itu bukan saja dari segi tujuan tetapi juga dari segi wasilah (jalan) bagi menegakkan perintah Allah dan melaksanakan hukuman-Nya. Apabila perubahan itu tidak mencapai tujuan, ianya boleh membawa akibat buruk kepada Islam itu sendiri.

C) Perubahan Berperikemanusiaan
Artinya, ia tidak akan menuju kepada kebaikan dengan melalui jalan keburukan, dan menghirup kehinaan untuk sampai ke mercu kebahagiaan. Atau ia tidak membina bangunan di atas tengkorak dan darah. Walaupun Tacashoft, seorang pemimpin agung Komunis telah memberikan perintah untuk menghapuskan semua orang-orang Rusia yang melewati usia dua puluh lima tahun karena mereka tidak mau mewakili pemikiran Marx, namun Islam menunjukkan sifat-sifat rahmat dan berperikemanusiaan dalam banyak peristiwa dan kejadian.

Pada hari futuh Mekah, Abu Bakar As-Siddiq ra. telah menemui bapanya yang mana pada masa itu masih lagi seorang musyrik dan dibawanya kepada Rasulullah saw. Tatkala Rasulullah saw melihat, beliau lalu berkata kepada Abu Bakar, “Kenapa tidak orang tua ini sahaja yang di rumahnya dan aku sendiri datang menemuinya.” Berkata Abu Bakar: “Wahai Rasulullah, dia lebih patut menemui engkau dari engkau menemuinya.” Maka Rasulullah pun duduk di hadapannya dan menyapu ke atas dadanya lalu berkata, Islamlah anda, maka beliau pun memeluk agama Islam. Di sini jelas bahawa perubahan Islam itu ada mempunyai ciri-ciri berperikemanusiaan; tabiatnya berakhlak dan akidah Islamiah ialah wasilah serta matlamatnya.

Dakwah dan Perubahan
Sayyid Qutb memberikan penjelasan tentang ciri Islam sebagai gerakan perubahan atau pembebasan. Beliau menyatakan : “Inti Islam itu adalah gerakan pembebasan. Mulai dari hati nurani orang-perseorang dan berakhir di samudera kelompok manusia. Islam tidak pernah menghidupkan sebuah hati, kemudian hati itu dibiarkannya menyerah tunduk kepada suatu kekuasaan di atas permukaan bumi, selain daripada kekuasaan Tuhan Yang Satu dan Maha Perkasa. Islam tidak pernah membangkitkan sebuah hati, lalu dibiarkannya hati itu sabar tidak bergerak dalam menghadapi keaniayaan dalam segala macam bentuknya, baik keaniayaan ini terjadi terhadap dirinya, atau terjadi terhadap sekelompok manusia di bahagian dunia manapun saja, dan di bawah penguasa manapun juga”.

Islam memanggil pancaindra, menggugah aqal dan qolbu. Wahyu mendorong dlamir dan iradah (kemauan) yang mampu mengendalikan nafsu. Di bawah sinaran wahyu segala unsur-unsur fitrah manusia dengan fungsinya masing-masing dalam proporsi (ukuran-ukuran) yang seimbang; semuanya merupakan satu kesatuan yang harmonis.

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. (Qs. Al-Anfal , 8 : 24)

Disinilah tugas para juru dakwah atau da’i. Para juru dakwah bertugas mempertemukan fitrah manusia dengan wahyu Ilahy, berdasarkan keterangan yang nyata-nyata tanpa pemaksaan. Fitrah adalah ciptaan Ilahi, sebagaimana wahyu adalah tuntunan Ilahy guna keselamatan, dan kemajuan pertumbuhan fitrah manusia. Kekuatan dakwah seorang da’i tergantung kepada kekuatan hujjahnya, yang diterima oeh aqal yang sehat, dan daya panggilnya, yang dapat menjemput jiwa dan rasa. Dalam makna ini maka dakwah adalah Tilawah atau Tarbiyah, Tazkiyah, dan Ta’lim.

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Qs. Al-Jumu’ah, 62 : 2)

Sebuah tatanan hidup atau pola hidup masyarakat yang benar-benar dalam kesesatan yang nyata, di akal, jiwa dan tingkah laku secara revolusioner berubah menjadi sebuah generasi yang dihuni oleh kesatuan masyarakat yang memiliki pola pikir, pola sikap dan tindak Qur’ani.

Dakwah Para Wali; Fakta Empirik Sebuah Perubahan
Lebih dari 5 abad yang silam telah terjadi sejarah perubahan yang monumental dalam tatanan masyarakat di tanah air tercinta Indonesia. Perubahan yang dikomandani oleh para wali utusan Allah di tanah Jawa, para wali “sang pembebas” perbudakan manusia atas manusia untuk “dikembalikan” kepada Sang Maha Pencipta menjadi status yang legitimit dimana manusia hanya sah dan haq menjadi Hamba Allah, menjadi budaknya Allah, menjadi Rakyat Allah Al-Malikul Haqqul Mubin.

Apa yang dikatakan oleh Raden Al-Fatah yang menjadi sebab menolak untuk mentaati raja Majapahit, …. “begitu besar pantangan agama, yang tidak mengizinkan umat Islam untuk mengabdi kepada orang kafir. Serta sudah ditakdirkan bahwa di Bintara akan berdiri kerajaan yang menjadi awal orang Jawa beragama Islam”. Kiranya sebuah refresentasi dari sebuah keyakinan yang bersifat bukan hanya personal tapi institusional untuk Haram mengabdi kepada orang kafir, karena pengabdian yang sesungguhnya hanyalah kepada Al-Malikul Haqqul Mubin.

Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (Qs. Al-Mumtahanah, 60 : 4)

“Pembangkangan”, “Pengingkaran” atau “Pemberontakan” terhadap pengabdian manusia atas manusia tentu bukan tanpa resiko “Walao karihal Kafirun”, Walao karihal Musyrikun” tapi sing penting “Wakafa Billahi Syahida”. Perjuangan para da’i bukan untuk tebar pesona, mencari popularitas, atau sebatas selebritis yang dipenuhi kata puitis.

Sunan Muria sering berpesan kepada kadernya “ Owah gingsiring kahanan iku saka karsaning Pangeran Kang Murbeng Jagad” bahwa perubahan keadaan itu atas kehendak Allah Sang Penguasa Jagad Raya. Sementara Sunan Giri berpesan pada santrinya “ Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah” keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu jangan melupakan sesama hidup.

Lalu perubahan-perubahan apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia. Dalam pupuh pungkur Sunan Kalijaga berpesan “ Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bakat mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, kang mangkono kena ingaran wong sepuh, lirih sepuh sepi hawa, awas roroning atunggal. Orang siapa mendapat wahyu Allah, akan berkilau cemerlang dalam celah ilmu ma’rifat, menguasai masalah tapa brata, mengendapkan jiwa-raga, itulah yang dinamakan orang sepuh. Sepuh adalah sepi hawa nafsu, waspada anasir dwitunggal. Nyata bahwa perubahan yang dimaksud adalah setiap insan wajib untuk “merasuki diri” dengan wahyu Ilahi, hanya dengan wahyu Allah manusia akan sepi dari hawa nafsu. Tegasnya wahyu Allah akan menuntun manusia untuk hidup saka karsaning Pangeran Kang Murbeng Jagad, atas kehendak Allah saja.

Perubahan pada diri, hakekatnya bukan hanya untuk memberikan keselamatan pada diri saja akan tetapi wajib menyelamatkan bagi orang lain. Apa yang diajarkan oleh Sunan Drajat kiranya menjadi bahan renungan untuk memberikan keselamatan pada umat. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marana kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kadonan. Artinya berikan tongkat kepada yang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan. Tegasnya ‘allamal insan ma lam ya’lam. Sampaikan apa yang belum diketahuinya, berikan sesuai kebutuhannya.



Dari : http://serbasejarah.wordpress.com/2009/01/14/perjuangan-islam-dengan-dakwah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar