Rabu, 28 Januari 2009

Nagasasra dan Sabukinten part 5

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
021

TERNYATA benda itu adalah sebilah pisau yang pada tangkainyadiikatkan secarik kain yang bergambar seekor kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu tertancap begitu dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja pisau itu menancap di dadanya, entahlah apa jadinya.

Sementara itu terjadilah suatu hal di luar dugaan. Setelah melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja tak membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi di luar dugaannya pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah Alit segera meninggalkannya dan menghadangnya.

Mereka sekarang sudah memegang senjata di tangan masing-masing. Sebuah belati panjang. Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali. Sedianya ia sama sekali tak ingin melayani orang itu, supaya tidak kehilangan Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang Mahesa Jenar. Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun Gajah Alit mengerti akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu untuk memberi kesempatan kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri.

Karena itu Gajah Alit pun berusaha untuk menghindari pertarungan dengan lawannya yang tinggal seorang itu untuk dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah seperti orang kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil keputusan untuk menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha menangkap Lawa Ijo.

Tetapi belum lagi mereka berhasil menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat ke atas dinding halaman. Kemudian kembali terdengar suara tertawa itu, suara tertawa yang menusuk-nusuk hati begitu pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur. Dengan cepat tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah.

Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di depan matanya, Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi gusar bukan kepalang. Dan sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada lawannya yang ketika itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka dengan kekuatan penuh, Mahesa Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang dipegang oleh kedua orang itu sama sekali tak berarti.
Pukulan Mahesa Jenar melayang mengenai kepala salah seorang di antaranya, sehingga terdengar suatu jerit ngeri. Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulang-tulang rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka seperti batang pisang keduanya roboh di tanah dan tak bergerak-gerak lagi.

Belum lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.

Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan, namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.

Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.

Sekarang, pada saat ia bertanding melawan Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali ia mendengar tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo. Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian itu pun menjadi menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk dapat berdiri.

Mengingat pengalaman berhadapan dengan Lawa Ijo, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti tergugah. Dalam sejarah hidupnya belum pernah ada seseorang penjahat yang sudah berada di bawah hidungnya terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang bukan lagi seorang prajurit Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian untuk kedamaian hati rakyat. Karena itu sekali lagi ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo, yang sejak peristiwa itu namanya tak pernah terdengar lagi.

Mahesa Jenar yakin, bahwa apabila tak terbinasakan, pada suatu saat pasti Lawa Ijo akan muncul kembali. Watu Gunung yang memiliki ciri-ciri khas sama dengan Lawa Ijo, tentu mempunyai hubungan erat. Mungkin Watu Gunung adalah bekas gerombolan Lawa Ijo, atau mungkin juga muridnya. Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mempermainkan orang ini sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo.

Kenangan dan pikiran-pikiran itu hanya sebentar saja melintas di otak Mahesa Jenar. Sementara itu suara tertawa Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton pun menjadi kian ngeri dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya terjatuh lemas seperti dicopoti tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu segera tiba. Para penonton yang mengharap segera berakhir riwayat kelima iblis itu, meratap dalam hati.

Tepat pada saat mulut Watu Ganung terkatup, matanya segera berubah jadi merah dan liar. Wajahnya tampak bertambah bengis. Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam. Tangannya direntangkan ke samping, sedangkan jari-jarinya yang kuat itu dikembangkan, siap untuk menerkam dan merobek lawannya. Setapak demi setapak ia maju mendekati umpannya.

Sementara Mahesa Jenar pun telah siap, dan telah mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi ia tetap waspada dan hati-hati, sebab ia tahu betapa kuatnya Lawa Ijo. Kalau saja orang ini dapat mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo, pertarungan tentu akan menjadi sangat sengit.

Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua depa, Watu Gunung menggeram hebat. Lalu dengan gerak yang cepat sekali ia melompat menerkam Mahesa Jenar. Serangan yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga, serta dari jarak yang begitu dekat dengan kecepatan yang tinggi, menjadikan darah para penonton berdesir. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar tidak sempat menghindari serangan itu. Ia hanya dapat melindungi dirinya dengan tangannya, yang disilangkan di muka dadanya untuk menahan terkaman jari-jari Watu Gunung.

Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk melindungi dadanya.

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
022

KETIKA serangan itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.

Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak terjadi benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk mendorong lawannya.

Watu Gunung sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh bergulingan.

Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan sebuah pertahanan.

Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.

Tetapi Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi. Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia rendahkan tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa Jenar tidak betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar kemudian tangan kanannya sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali Watu Gunung terhuyung-huyung ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan tubuhnya supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia berhasil juga.

Perubahan yang terjadi demikian cepatnya itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan kepalang. Malahan kemudian ada yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan mana yang telah membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu.

Samparan beserta ketiga kawannya sampai berdiri. Sebagai orang yang penuh pengalaman, Samparan segera melihat kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu.

Kalau mula-mula Mahesa Jenar tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia sedang menjajagi sampai di mana kekuatan lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu Gunung akan berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia menjadi yakin kalau Watu Gunung akan binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa. Rupanya ketiga kawannya pun berpikir demikian.

Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak demikian hebatnya. Anehnya, serangan serangan Mahesa Jenar tidak tampak membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat dengan dahsyatnya ke udara, kakinya bergerak menyambar kepala Watu Gunung, sehingga Watu Gunung terpaksa merendahkan diri untuk menghindar. Tetapi segera kaki itu ditarik, dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah berdiri di belakang Watu Gunung. Tangannya bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu Gunung. Serentak hati para penonton tergetar. Hampir saja mereka bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan terhantam.

Tetapi rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia hanya menyambar saja ikat kepala Watu Gunung yang berwarna merah soga itu.

Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung menjadi merah, semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa Jenar itu. Giginya gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar secepat getaran darahnya. Bagi orang seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya diremukkan daripada dihina sedemikian.

Ki Asem Gede, yang sejak melihat perubahan sikap Mahesa Jenar sudah mendapat kepastian akan akhir dari pertarungan itu, melihat Mahesa Jenar berbuat demikian tak dapat lagi menahan geli hatinya. Tertawanya melontar tak terkendalikan sampai tubuhnya berguncang-guncang.

Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar menyambar dada Mahesa Jenar.

Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan yang sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban orang yang tak berdosa.

Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar tangkai pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.

Melihat adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat orang iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan. Kecenderungan mereka untuk memihak Mahesa Jenar akan menambah dendam keempat orang itu.

Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya. Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. “Bagus ..., bagus ..., bagus ....”

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
023

TIBA-TIBA teriakannya dan kegemparan penonton pun mendadak terhenti. Mereka melihat seorang dengan lincah meloncat ke dalam arena sambil memegang sebuah pedang pendek.

Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari kawanan iblis itu. Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya melihat Watu Gunung dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa bahwa ia sendiri tidak akan mampu melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua dengan Watu Gunung adalah lain soalnya.

Gagak Bangah sendiri tidak sekuat Watu Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam hal kecepatan bergerak. Dan kecepatannya itu apabila digabungkan dengan kekuatan tenaga Watu Gunung mungkin akan dapat merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Melihat seorang kawannya memasuki arena, hati Watu Gunung yang sudah tipis sekali itu menjadi tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi kepada peraturan yang ditentukan dalam pertarungan itu.

Melihat seorang lagi masuk dalam arena, Mahesa Jenar terkejut. Ia surut beberapa langkah ke belakang, dan pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak banyak cakap, Gagak Bangah sudah memutar pedang pendeknya dan dengan kecepatan yang luar biasa ia menyerang Mahesa Jenar.

“Tunggu... apakah kau ingin menggantikan Watu Gunung?”

Terpaksa Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan sambil meloncat menghindari serangan itu. Tetapi, ia tidak mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah dan Watu Gunung menyerang bersama-sama.

“Kalian melanggar peraturan,” sambung Mahesa Jenar sambil meloncat menghindari sambaran pedang pendek dan kemudian cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang sebelum kaki Watu Gunung mengenai tungkaknya.

“Tidak ada suatu peraturanpun yang dapat mengikat kami,” teriak Gagak Bangah dengan garangnya. “Kami berdiri di atas segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan peraturan, kami pun berhak mengubah atau menghapus peraturan itu.”

Mahesa Jenar jadi sadar bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang licik dan tidak bersikap jantan. Ia paling benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai seseorang yang mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan curang. Itulah sebabnya kemarahan Mahesa Jenar tergugah.

Tetapi ia sekarang berhadapan dengan dua orang yang mempunyai keistimewaan masing-masing dan tergolong dalam tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus mengerahkan sebagian besar kepandaiannya.

Ki Asem Gede yang menyaksikan kecurangan itu pun menjadi gusar. Untuk melawan dua orang, belum tentu Mahesa Jenar dapat menang. Karena itu ia sudah membulatkan tekad untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat, tiba-tiba terdengarlah sebuah bisikan.

“Jangan berbuat sesuatu Ki Asem Gede.”

Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung senjata tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota ke-3 dan ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan mengancamnya dengan keris. Maka terpaksa Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora hebat, sambil menanti suatu kesempatan.

Sementara itu, pertempuran di arena bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar sambil mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan mengandalkan kekuatannya menyerang dengan garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati panjang yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.

Mahesa Jenar ternyata tidak mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak sengaja Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan dengan senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati kawanan Lawa Ijo terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan. Apalagi kini senjata itu ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian dalam mempergunakan segala macam senjata. Maka dalam waktu yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya dan seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau yang mematuk-matuk dengan garangnya.

Keadaan yang seimbang dari pertempuran itu tidak berlangsung lama. Sebab segera Mahesa Jenar berhasil mendesak lawannya ke dalam keadaan yang sulit. Sebenarnya Mahesa Jenar tidak biasa membinasakan lawannya, apalagi tidak ada sebab-sebab yang memaksa. Ia lebih suka mengampuni seseorang apabila orang itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa.

Tetapi tidak demikian halnya terhadap orang-orang yang licik dan curang. Sebab orang-orang yang demikian sudah tidak menghargai lagi sifat-sifat kejantanan dan kekesatriaan. Orang-orang semacam itulah yang selalu akan menimbulkan bencana. Karena itu terhadap orang-orang yang demikian, juga kepada lawannya itu, Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk membinasakannya.

Maka segera ia merangsang lawannya lebih hebat lagi. Pisau panjang yang berada di tangannya itu bergerak semakin cepat sehingga hampir merupakan gumpalan gumpalan sinar yang bergulung-gulung mengerikan sekali.

Watu Gunung dan Gagak Bangah sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Maka diam-diam mereka berdua mengeluh dalam hati. Karena mereka tadi memberi kesempatan kepada orang ini untuk bertanding membela anak Ki Asem Gede. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh mereka berdua.

Sesaat kemudian terdengarlah bunyi berdentang dari senjata yang beradu. Ternyata pisau panjang Mahesa Jenar telah menyambar pedang pendek Gagak Bangah. Sambaran itu begitu kuatnya sehingga tangan Gagak Bangah merasa nyeri sekali. Belum lagi ia dapat memperbaiki keadaannya, kembali pedangnya disambar oleh pisau Mahesa Jenar. Dan benar-benar kali ini ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa sehingga pedangnya terpental jatuh.

Melihat keadaan itu, Watu Gunung segera berusaha menolong kawannya. Dengan lompatan yang cepat ia mendesak maju, dan membabat tangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar telah menarik tangannya kembali dan dengan sisi telapak tangan kirinya ia menghantam pergelangan tangan Watu Gunung. Hantaman itu sedemikian kerasnya terlepas dari tangannya. Maka kini sampailah saatnya untuk mengakhiri pertempuran.

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
024

MAHESA JENAR tidak mau membunuh lawannya dengan senjata. Segera dilemparkannya belati itu, dan secepat kilat sebelum Watu Gunung dan Gagak Bangah sempat menjatuhkan dirinya, kedua tangan Mahesa Jenar masing-masing meraih kepala kedua orang itu. Dengan tenaga yang didasari kegusaran hati, dibenturkannya kedua kepala itu sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara hampir seperti sebuah ledakan diikuti oleh jerit ngeri melengking. Sekejap kemudian suara itu terputus dan kedua orang itu rebah di tanah dengan kepala pecah.

Berbareng dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai, segera memutar otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda dan Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya dibinasakan, maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki Asem Gede berbuat seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya.

Ketika Wisuda dan Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki Asem Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan dirinya dan kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang memegang senjata. Dengan sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas pundaknya.

Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.

Orang-orang yang melingkari arena, melihat dua kejadian yang mengerikan dan terjadi pada saat yang hampir bersamaan itu, terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka hanya dapat sebentar memandang Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki Asem Gede, yang sesudah mengeluarkan seluruh tenaganya itu kemudian menjadi lemas dan terduduk di atas tanah.

Mahesa Jenar tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Asem Gede. Maka ketika ia melihat keadaannya, ia menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya. Dan pada saat yang demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang baru saja terjadi. Segera terjadilah kegemparan. Beberapa orang berdesak-desakan ingin menyaksikan mayat-mayat di tengah arena itu, tetapi sebagian ingin melihat apa yang terjadi dengan Ki Asem Gede.

Kegemparan itu segera berubah menjadi jeritan yang hampir bersamaan keluar dari beberapa mulut para penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah hampir sampai pada tempat Ki Asem Gede terduduk, ada tombak meluncur yang datangnya sangat cepat. Apalagi Mahesa Jenar sama sekali tak mengetahui, karena perhatianya tertuju pada Ki Asem Gede.

Mendengar jeritan-jeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera perasaannya yang tajam menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan diri. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah, dengan tangannya melindungi dada.

Tetapi ketika tombak itu hampir menancap di tubuh Mahesa Jenar, terjadilah suatu benturan yang dahsyat diiringi dengan suara gemericing senjata beradu, sehingga timbullah bunga api yang memancar. Kembali para penonton terkejut bukan main. Kecuali Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede, tak seorangpun yang melihat bahwa dari arah lain menyambar pula sebuah senjata sehingga membentur tombak yang hampir saja menembus tubuh Mahesa Jenar.

Apalagi ketika dua senjata yang beradu itu jatuh di tanah, maka darah orang-orang yang berkeliling arena itu berhenti dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah Mahesa Jenar itu patah ujungnya, sedangkan di sampingnya menancap sebuah trisula,

Mantingan...!” Teriak salah seorang diantara mereka.

Ya, Dalang Mantingan,” sahut yang lain.

Sebentar kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan orang menyebut nama Mantingan. Memang, Mantingan telah terkenal di daerah itu sejak beberapa waktu yang lampau. Tetapi kemudian lama ia tidak muncul, dan sekarang mereka melihat lagi sebuah trisula, yang bertangkai kayu berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup bunga kamboja. Hampir semua orang mengenal benda itu. Di mana benda itu berada, di sana Mantingan pasti ada, dan sebaliknya.

Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu menunduk hormat.

Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk hormat?” pikir mereka.

Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.

Kau Samparan?” desis Mantingan.

Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil.

Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding?” tanya Mantingan melanjutkan.

Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung,” jawab Samparan gemetar.

Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula melihat kelakuan Samparan yang begitu pengecut.

Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping Mantingan.

Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang berhati lapang, selapang lautan yang sanggup menampung aliran sungai.

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
025

“AKU ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian.

“Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan cepat-cepat.

“Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem Gede.

Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk mengikutinya. Lewat Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup masuk ke dapur, dan di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair. Ternyata dasar kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki ruang di bawah tanah.

Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap saja.

“Kau mau main gila Samparan?” tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.

“Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian,” sahut Samparan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati mereka.

Ruang di bawah tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang ditancapkan pada dinding ruangan. Di bagian atas ruangan tampak beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur bumbung dari tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian kedua adalah sebuah ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat dan dikancing dengan sebuah palang kayu yang cukup besar.

Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,” kata Samparan sambil menunjuk pada palang pintu yang besar itu.

Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya. Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka sambungnya, “Bolehkah aku membukanya?”

Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya, “Bukalah, tetapi jangan main gila.”

Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya memandang dengan tajam, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia merenung sejenak, tangannya bergerak membukanya.

Baru saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat keluar dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ, bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan mengelakkan diri.

Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar kemudian berubah menjadi keheran-heranan.


Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem Gede.

“Ayah!” serunya. Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan terharu. Dengan susah payah ia berhasil membendung air matanya sehingga tidak mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang menyedihkan.

Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah dimilikinya.

Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat di gandok sebelah barat.

Setan-setan itu tidak berbuat jahat kepadamu?” tanya Ki Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang Samparan dengan pandangan yang jijik, benci dan penuh kemarahan.

Manakah kawan-kawan iblis itu?” tanya Nyi Wirasaba kepada Ki Asem Gede.
Beberapa kali Nyi Wirasaba memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan penuh pertanyaan. Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan Mantingan ia pernah berkenalan. Tetepi di mana, dan kapan? Sedangkan yang satu lagi sama sekali ia belum pernah melihat.

Ki Asem Gede mengerti perasaan putrinya, maka segera diceritakan apakah yang sudah terjadi. Dan tiba-tiba saja Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar dan Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan betapa besar terima kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat bahwa Mantingan telah dikenalnya pada waktu mereka masih sama-sama kecil. Tetapi yang kemudian tak lagi pernah bertemu sejak Mantingan mengikuti gurunya ke Wanakerta.

Lawa ijo yang namanya terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun, berhadapan dengan Mahesa Jenar tak dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat.

Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu hati Mahesa Jenar.

Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa langkah.

Karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari serangan yang pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa Jenar yang akan memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya.

Seleret sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia miringkan tubuhnya, dan sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun dari dadanya, mengenai dinding balai perbendaharaan dan langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya.


Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar